DAFTAR
ISI
Motto
………………………………………………………………………………………
Kata
Pengantar ……………………………………………………………………………..
Daftar
Isi …………………………………………………………………………………...
BAB
I. PENDAHULUAN ………………………………………………………………....
Latar Belakang Masalah …………………………………………………………………....
Rumusan
Masalah ………………………………………………………………………......
Maksud
dan Tujuan Penulisan ……………………………………………………………....
Metode
Penulisan …………………………………………………………………………..
BAB
II. PEMBAHASAN ………………………………………………………………….
Hubungan
antara Gereja dan Negara dalam Sejarah …………………………………….......
Gereja
Terpisah dari Negara ………………………………………………………………..
Gereja Menguasai Negara …………………………………………………………………
Prof.Dr.P.D.
Latuhamallo ……………..............................................................................
Hubungan
Agama dan Negara (Lukas 20:20-26) ……………………………………...........
Gereja
dalam konteks Indonesia ………………………………………………………........
Hubungan
Gereja dan Negara dalam Teologi Calvin …………………………………….......
Hubungan
Gereja dalam Poliik Negara ……………………………………………………
Pertanyaan
Teknis menyangkut Gereja dengan Politik…………………………………….....
BAB III.PENUTUP..............................................................................................................
Saran
dan Kesimpulan……………………………………………………………………
Daftar
Pustaka ……………………………………………………………………………
MOTTO
HIDUP:
“Hidup
tanpa iman, adalah hampa. Sebab, anegerah dan berkat dari Tuhan selalu mengalir
buat orang-orang yang mempunyai iman yang teguh serta kasih yang tulus yang
tercermin dari perbuatan kita”
“Janganlah
kamu khawatir akan segala apapun, Sebab Tuhan telah menyediakan yang terbaik
buat kehidupan mu, dan lakukanlah apa yang baik yang sesuai dengan ajaran
firmanNya, maka Engkau akan beroleh kehidupan yang kekal”
“Gereja
dengan negara bagaikan angin sepi-sepoi yang hanya datang sejenak lalu hilang
dan pergi begitu saja, yang dalam pengertiannya gereja dipandang sebagai
penopang keselamatan dosa manusia yang hanya di lakukan hanya sebatas penunjuk
identitas saja, lalu pergi dengan arah yang tak tentu”..
KATA
PENGANTAR
Puji
dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa (YME), yang mana masih
memberikan kesempatan kepada penulis untuk menerbitkan karya tulis Makalah ini
yang bertopik tentang “Hubungan Gereja Dengan Negara”.Makalah ini disajikan
dengan metode penggunaa bahasa yang lugas serta efektif, sehingga mudah
dipahami oleh para pembaca.Selain itu juga mengandung unsur-unsur nilai budaya
yang tercermin di dalam kehidupan masyarakat Kristiani.
Kita
mengetahui bahwa Gereja adalah tempat ibadah umat Kristiani, dan Gereja sering
kali mengalami problema yang manjadi acuan bagi suatu negara.Kadang kala
berdirinya suatu gereja, tidak didukung dengan adanya jaminan stabilitas
keamanan untuk beribadah serta pembangunan infrastruktur gereja yang kurang
memadai.Dewasa ini, sering sekali terjadi kasus-kasus pengeboman gereja dan
bahkan sudah hampir sampai ke pelosok-pelosok pedesaan. Nah, ini yang menjadi
perhatian kita bersama, mengapa di dalam suatu negara keberadaan gereja
bukanlah menjadi sesuatu yang dianggap lebih penting dan didahulukan, melainkan
hanya sebagai pelarian semata saja untuk melengkapi identitas agama seseorang
saja yang menyatakan bahwa ia termasuk umat kristiani.
Di
dalam Alkitab diterangkan bahwa Yesus pernah memarahi orang-orang yang
menyalahgunakan gereja sebagi tempat berdagang dan berjudi. Ia mengatakan
“Mengapa kamu menjadikan rumah Bapa ku sebagai tempat berjualan?. Rumah Bapaku
adalah tempat untuk memuji dan menyembah Allah, serta untuk beribadah, dan
bukan sebagai tempat berdagang?.
Oleh
karena itu, marilah kita sadari dan kita renungkan bersama, tentang bagaimana
cara kita sebagai umat Kristiani untuk dapat menyelamatkan kedudukan gereja di
dalam negara sebagai acuan dan perhatian Publik, agar hubungan gereja dengan
negara menjadi suatu hal yang lebih diprioritaskan, sehingga gereja betul-betul
menjadi tempat yang suci, dan tempat pembawa berkat bagi seluruh umat
Kristiani.
Salam hangat.
BAB I
PENDAHULUAN
1).
Latar Belakang Masalah.
Gereja dan negara memiliki hubungan yang berbeda di
sepanjang perjalanan sejarah umat manusia.Hubungan tersebut terbina dengan
adanya relasi antara pemerintah dalam negara dengan pemerintahan dalam
gereja.Hubungan yang bervariasi tersebut diwarnai oleh berbagai peristiwa yang
terjadi di dalam sejarah manusia.Ada kalanya ketika gereja dan negara
benar-benar terpisah.Akan tetapi dalam suatu masa sejarah tertentu, negara dan
gereja menyatu.Demikian juga ada masanya ketika gereja dikuasai sepenuhnya oleh
negara dan sebaliknya ada masa dalam sejarah perkembangan gereja ketika negara
dikuasai oleh gereja.
Sejarah Gereja membuktikan bahwa ketika gereja menjadi
“gereja-negara” dan negara menjadi “negara-gereja”, keduanya berakhir pada
jalan buntu. Tatkala negara mendominasi (Gereja), gereja direduksi menjadi
hanya lembaga sekular manusiawi.Padahal Gereja adalah persekutuan rohani yang
dibentuk Allah sendiri.Sebaliknya, ketika Gereja mendominasi (negara), negara
disakralkan, dan kebijakan negara (politik) disejajarkan dengan isi wahyu.Tanpa
pemilahan yang jelas, hubungan keduanya justru menjadi carut-marut.Keduanya
saling eksploitasi dengan aneka trik.Kredibilitas keduanya merosot dimata
umat.Pemilahan antara kedua saudara kandung tersebut harus diperjelas
teristimewa dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia. Umat Allah (Gereja) semestinya
membedakan peran mereka dalam politik di satu pihak sebagai pribadi atau
kolektif selaku warganegara, dan di lain pihak berperan dalam tugas kemanusiaan
atas nama Gereja.Gereja sebagai institusi harus menghindarkan diri dari
keterlibatan politik (praktis) berdasarkan agama yang dapat menyebabkan
perpecahan dalam masyarakat majemuk.Di samping itu, bila menyimak pelbagai praktek
politik berbasis agama, agama biasanya hanya menjadi palu di tangan politisi,
yang setelah dipakai kemudian dilempar kembali ke kotak perkakas.
Nega ra merupakan organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan
tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat.Oleh karena itu
sebuah negara terbentuk dengan adanya wilayah atau teritorial yang diakui
secara internasional. Tidak hanya wilayah yang menjadi persyaratan utama
berdirinya sebuah negara, akan tetapi harus ada masyarakat atau kumpulan
masyarakat yang berada di bawah kepemimpinan dalam negara tersebut. Dengan
demikian dapat dinyatakan bahwa negara tidak akan terbentuk jika tidak memiliki
unsur-unsur wilayah, rakyat dan sekaligus kepemimpinan.
Sekalipun banyak perbedaan dalam pengertian antara negara
dan gereja, namun definisi secara umum memiliki persamaan yaitu keduanya
merupakan sebuah organisasi yang memiliki kepemimpinan.Kepemimpinan yang
memiliki ruang lingkup berbeda, tetapi bersama-sama memiliki anggota yang
terlibat dalam organisasi keduanya.
Bagi kita di Indonesia, hubungan gereja dan negara itu juga
ditentukan oleh konteks sejarah. Pada masa Hindia Belanda, terjadi
sub-ordinasi negara terhadap gereja. Gereja diperalat untuk kepentingan
keuntungan kekuasaan, ekonomi VOC dan pemerintahan Belanda.Setelah Indonesia
merdeka, pemerintah cenderung mengintervensi kehidupan beragama, khususnya pada
masa Orba.Intervensi itu misalnya adalah pelarangan aliran tertentu, pengaturan
pendirian rumah ibadah, palaksanaan misi atau dakwah, dll.
Pemisahan kekuasaan gereja dan negara merupakan hal yang
mendasar.Tetapi tidak berhenti di situ.Harus dibarengi penekanan peran agama
bagi masyarakat. Gereja—mewakili agama, merupakan perwakilan umat yang membawa
doa syafaat kepada Tuhan dan berkat kepada umat. Tujuan gereja adalah menjadi
terang dan garam dunia.Membawa manusia kembali ke Sang Pencipta.Dan terbukti
peran gereja tak tergantikan dalam pembentukan suara hati nurani.Meski dalam
satu waktu, berada di bawah tekanan penguasa.
Alkitab menjabarkan negara dan gereja sebagai dua institusi
terpisah dengan fungsi dan yuridisnya masing-masing.Pemisahan ini digambarkan
dengan negara sebagai pedang (Rm. 13:4) dan gereja sebagai kunci (Mat.
16:19).Sesuai dengan peran dan fungsinya, gereja berhadapan dengan dosa.Gereja
memegang otoritas untuk menutup pintu Kerajaan Allah bagi orang-orang yang
tidak mau bertobat dan membuka jalan keselamatan bagi orang-orang berdosa yang
mau bertobat.
2).
Rumusan Masalah.
Dalam penulisan karya tulis makalah ini, penulis menyusun
sketsa penulisan yang terdiri dari Sejarah lahirnya gereja, Seluk beluk
perkembangan gereja disuatu negara, Tugas dan Fungsi gereja di dalam suatu
negara, serta pendapat Pendapat para Tokoh tentang ruang lingkup gereja dengan
negara.
Penulis juga menjabarkan tentang keberadaan dan kedudukan
gereja di dalam negara, sehingga dengan adanya penjabaran ini, para pembaca
dapat mengetahui dan lebih memaknai tugas dan panggilan umat Kristen di dalam
gereja.Penggunaan bahasa didalam makalah ini disajikan dengan bahasa yang lugas
dan efektif serta di rangkum secara objektif.
Adapun, patokan dasar yang menjadi rumusan masalah di dalam
makalah ini adalah membahas tentang masalah Hakikat Gereja di dalam suatu
negara, yang menguraikan tentang perjalanan gereja yang begitu menyakitkan dan
mengharukan yang mana para pemimpin gereja dan para Tokoh-tokoh gereja telah
bersusah payah untuk menjadikan gereja sebagai tempat peribadahan yang sesuai
dengan ajaran Alkitab, dan hingga saat ini pun gereja masih saja mengalami
masalah dalam melaksanakan tugas dan panggilannya untuk melayani firman Tuhan
serta menyebarkan ajaran-ajaran Tuhan kepada seluruh umat Kristiani.
Adapun format penulisan masalah dalam Makalah ini,
diklasifikasikan ke dalam beberapa bentuk pertanyaan yang terdiri dari:
1).
Bagaimana pandangan umat Kristen tentang keberadaan dan kedudukan gereja di
dalam negara?
2).
Apa saja langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh umat Kristen untuk
menyelamatkan gereja
dari dari segala bentuk ancaman dan diskriminasi?
3).Mengapa
perjalanan gereja hingga saat ini masih saja mendapat tantangan dan problema
yang begitu
menekan ketenteraman umat Kristen untuk beribadah?
3).
Maksud dan Tujuan Penulisan:
Adapun maksud dari pada penulisan makalah ini adalah untuk
menyadarkan kita semua sebagai umat Kristiani yang taat akan agama, agar mau
berusaha dan berjalan sesuai dengan ajaran Tuhan dalam menyelamatkan gereja
dari segala bentuk ancaman diskriminasi yang mengganggu ketenteraman dalam
beribadah dan mengajak pihak-pihak lain agar mau berpartisipasi membangun dan
mewujudnyatakan fungsi pelayanan gereja yang diharapkan oleh seluruh lapisan
umat Kristen. Selain itu, Penulis juga bermaksud menulis makalah ini sebagai
acuan informasi tentang stabilitas keberadaan gereja di dalam suatu negara, terlebih-lebih
di negara Indonesia, yang saat ini belum bisa dikatakan sepenuhnya bahwa gereja
dijadikan sebagai fondasi bagi warga negara umat Kristen, dalam tatanan
kehidupannya sehari-hari yang tidak melanggar dari firman Tuhan dan Hukum
Taurat. Oleh sebab itu, Penulis berusaha bermaksud untuk mendeskripsikan
penjelasan secara detail dan akurat mengenai Hubungan gereja dengan negara.
Sedangkan
Tujuan dari pada penulisan Makalah ini yaitu antara lain:
1).
Mengetahui sejarah perjalanan gereja sebagai pelayan firman Tuhan.
2).
Mengetahui kondisi dan keadaan gereja di dalam negara yang menjadi landasan
bagi kita
untuk
lebih mementingkan serta memprioritaskan pelayanan dan misi dari tugas pokok
gereja.
3).
Agar kita tahu betapa beratnya tanggung jawab dalam menjalankan prasyarat dan
perwuju-
gereja
yang nasionalis serta tidak timpang tindih dalam melakukan pelayanan firman.
4).
Untuk menjadi proses pembelajaran bagi kita terutama bagi kalangan remaja
Kristiani, agar
Mampu
berfikir lebih dewasa, dan bertindak dengan objektif dalam mengemban kewajiban
Untuk
melaksanakan kegiatan peribadahan yang lebih baik.
5).
Sebagai referensi bagi kita untuk lebih konsisten dalam karya penyelamatan
gereja
4).
Metode Penulisan
Metode yang kami gunakan dalam penyusunan Makalah ini
terdiri dari beberapa Metode yang secara bertahap akan kami lakukan dalam
mengkaji dan menggali lebih dalam lagi informasi-informnasi maupun data-data
yang lebih akurat tentang situasi Hubungan gereja dengan dengan negara, dan
Usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk lebih mewujudkan cita-cita gereja yang
suci dan berbudi luhur.
Adapun
metode yang kami maksud yaitu antara lain:
a).
Metode Wawancara dan Interview.
Dalam metode wawancara kami akan melakukan kegiatan
wawancara langsung dengan sejumlah Tokoh gereja yang mengabdikan dirinya
sebagai pelayan tugas panggilan Gereja, dimana nantinya kami akan meringkas
hasil wawancara kami tentang pendapat dan tanggapan mereka tentang Hubungan
gereja dengan negara. Selain itu kami juga akan melakukan kegiatan Tanya jawab
singkat dengan para kaum nasrani tentang tanggapan dan kritikan dari mereka
tentang Hubungan gereja dengan negara dalam pandangan status tempat Peribadahan
.
b.
Metode Observasi
Dalam metode ini, kami akan turun langsung ke lapangan dan
mengamati keberadaan gereja dalam lingkungan masyarakat, terutama lingkungan
terpencil, dan mengunjungi beberapa gereja yang kondisinya belum mendapat
perhatian dari Pemerintah dalam membangun sarana dan prasarana gereja yang memadai
dan lebih layak di jadikan tempat ibadah yang aman dan nyaman.
c).
Metode Angket/daftar isian
Dengan
metode ini, kami akan menyajikan data dalam bentuk pembukuan, dimana data
tersebut nantinya akan kami ringkas dengan penggunaan bahasa yang koheren,
sehingga pokok pembicaraan yang kami lakukan dengan narasumber dapat di muat
dalam bentuk kesimpulan yang lebih singkat dan bermakna.
BAB II
PEMBAHASAN
Hubungan
antara Gereja dan Negara dalam Sejarah
Dalam sejarah, gereja dan negara memiliki beberapa bentuk
hubungan. Pada bagian ini akan dibahas mengenai hubungan yang terjadi antara
gereja dan negara. Banyak orang berpikir bahwa gereja dan negara merupakan dua
hal yang sangat berbeda.Sehingga mereka menyatakan bahwa negara dan gereja tidak
boleh memiliki keterikatan antara satu dengan yang lainnya.Di samping itu ada
orang yang memiliki pemahaman bahwa gereja dan negara harus saling
berhubungan.Artinya gereja sebagai pembina rohani harus memiliki tanggung jawab
penuh terhadap negara.Negara harus berada di bawah pengawasan dan kontrol
gereja. Pandangan lain menyatakan bahwa negara harus berperan penuh dalam
perkembangan yang terjadi di dalam gereja. Artinya negara harus mengontrol
gereja. Berbagai pandangan tersebut akan dibahas lebih lanjut dalam bagian
berikut.
Gereja
Terpisah dari Negara
Gereja dalam kapasitasnya sebagai sebuah lembaga kerohanian,
merupakan sebuah organisasi ayng terbentuk di dalam suatu wilayah
tertentu.Wilayah yang dimaksud tentunya memiliki struktur pemerintahan.Artinya
adalah gereja yang terbentuk di dalam negara atau teritorial kekuasaan yang
diatur oleh hukum yang berlaku dalam negara tersebut.
Pada awal terbentuknya gereja (persekutuan orang percaya),[5] gereja benar-benar
terpisah dari negara. Keterpisahan yang dimaksud adalah gereja tidak mengambil
bagian apa-apa di dalam strukturpemerintahan atau negara.Demikian juga dengan
negara, pemerintah tidak ikut andil dalam terbentuknya sebuah organisasi
gereja, baik itu dalam lembaga maupun secara kerohanian. Keduanya berjalan
menurut aturan amsing-masing, tidak memiliki tujuan yang sama. Pluralisme
merupakan salah satu penyebab negara tidak terlibat dalam gereja.Plural dalam
hal tersebut adalah keanekaragaman kepercayaan masyarakat yang ada dalam negara
tersebut. Beranekaragamnya kepercayaan tentu membuat negara tidak dapat
memberikan perhatian khusus kepada gereja, karena tindakan seperti itu akan dianggap
sebuah ketidakadilan yang dilakukan oleh negara.
Gereja terbentuk dalam kebudayaan helenis
(Romawi).Terbentuknya gereja dalam kebudayaan tersebut memberikan keterangan
bahwa gereja terpisah dari negara.Keterpisahan itu disebabkan oleh negara yang
tidak menganut paham seperti gereja.Romawi adalah negara yang masyarakatnya
menyembah kepada banyak dewa (politheisme).Sedangkan gereja mengajarkan
untuk monotheis, yaitu menyembah hanya pada satu Tuhan saja.
Sistem kekaisaran dalam negara Romawi membentuk sebuah
kepercayaan bahwa seorang kaisar adalah titisan dewa yang harus
disembah.Kepercayaan seperti itu sangat bertentangan dengan ajaran
gereja.Berkhof dan Enklaar menyatakan, “Ibadat kepada kaisar adalah salah satu
pernyataan yang sangat penting dari hidup keagamaan pada permulaan tarikh
Masehi.
Sebuah
pandangan yang muncul dari dunia Timur, yakni bahwa kaisar mempunyai kuasa
mengatasi dunia kodrati (alamiah), bahkan ia berasal dari dunia ilahi”.[7]
Selain kepercayaan dan keyakinan yang berbeda antara negara
dan gereja pada masa itu, hal lain yang menyebabkan keterpisahan gereja dan
negara adalah “penganiayaan”. Penindasan yang muncul dari ketakutan pemerintah
akan kekristenan menarik banyak masyarakat Roma. Kekristenan menyebabkan banyak
warga Roma tidak lagi melakukan penyembahan kepada salah satu dewa atau dewi
Romawi.Hal tersebut tentu merusak sistem negara yang telah terbentuk.
Berkhof
dan Enklaar memberikan beberapa data mengenai penyebab “pertikaian” atau
penganiayaan terhadap gereja pada abad pertama. Mereka menyatakan,
Mula-mula negara Romawi menganggap kaum Kristen sebagai
mazhab Yahudi, sehingga merekapun bebas melakukan agamanya.Akan tetapi kemudian
ternyata bahwa agama itu terbentuk dari seorang yang tersalib oleh pengadilan
Romawi sendiri.Kemudian orang Kristen dianggap sangat berbahaya bagi
negara.Kebanyakan pengikutnya adalah orang Romawi dan Yunani.Mereka tidak lagi
ikut beribadat pada dewa-dewi.Semua dewa-dewi disangkal, mereka hanya menyembah
kepada satu Allah saja.Sehingga mereka disindir dengan julukan “orang-orang
yang tak berdewa”.Dengan berkembangnya kekristenan, maka persembahan di rumah
dewa/berhala menjadi berkurang…Pendeknya, kaum Kristen dibenci karena berlainan
dengan masyarakat umum.Adanya bencana alam diasosiasikan sebagai murka
dewa-dewa karena banyak orang yang tidak mempersembahkan korban.[8]
Pandangan negara yang negatif terhadap kekeristenan
menyebabkan timbulnya penghambatan terhadap gereja. Beberapa penghambatan yang
terjadi antara lain:[9]
- Sekitar tahun 64 M, Kaisar Nero
mempersalahkan (lebih tepatnya mengkambing hitamkan) orang Kristen karena
kebakaran besar yang memunahkan sebagian dari ibu kota negeri itu.
Kristiyano menulis mengenai sikap Nero sebagai berikut,
Kaisar Nero menerapkan sikap bermusuhan terhadap orang
Kristen.Ia merestui penganiayaan terhadap orang Kristen yang dianggapnya
takhayul. Untuk meredam keributan di sekitar terbakarnya kota Roma, Nero
menuduh orang Kristen sebagai pelakunya. Komunitas Kristen dituduh sebagai
kelompok yang membenci manusia (odium humanis generis atau misanthrophia).[10]
Gereja
Menguasai Negara
Keadaan yang terjadi setelah gereja mengalami penganiayaan
yang sangat panjang adalah “gereja menguasai negara”.Situasi yang telah lama
mencekam gereja (orang percaya) akhirnya berbalik.Dari penganiayaan negara
(pemerintah) terhadap gereja berbalik menjadi pengakuan yang dialami oleh
gereja terhadap negara.Sejarah mencatat dari penganiayaan gereja lambat laun
berubah menjadi pengakuan yang absolut terhadap gereja atau kekristenan.
Pengakuan yang absolut tersebut terjadi ketika Constantine
(Konstantin) memegang tampuk pemerintahan. Mengenai sejarah diakuinya
kekeristenan oleh negara di bawah pemerintahan Konstantin, Rick Joyner
menuliskannya sebagai berikut:
Pada tahun 313M, penganiayaan kekaisaran Romawi terhadap
umat Kristen tiba-tiba secara resmi dihentikan.Kemudian, tersebar berita bahwa
kaisar Constantine sendiri menyatakan diri sebagai orang Kristen.Untuk memahami
perubahan yang radikal ini, kita harus kembali ke tahun 306, ketika Constantine
menjadi kaisar Romawi.Masa itu merupakan masa perang saudara yang
berkepanjangan, karena banyak pihak yang berusaha memperebutkan takhta
kekaisaran Romawi. Constantine merasa bahwa kampanyenya melawan Maxentius,
salah satu pesaingnya, akan mementukan siapa yang menjadi penguasa tunggal
kekaisaran. Pasukan kedua musuh ini bertemu di Jembatan Mulvian di atas Sungai
Tiber dekat Roma.
Constantine mengetahui bahwa ia memerlukan pertolongan ilahi
untuk memenangkan peperangan ini.
Kabar burung menyebutkan bahwa ia bersimpati kepada
orang-orang Kristen oleh karena istrinya, Fauta, telah memeluk agama Kristen.
Constantine berdoa meminta pertolongan, dan Allah memberikan penglihatan
kepadanya tentang sebuah salib terang, yang bertuliskan “in hoc signo vinces”
(dengan tanda ini, engkau akan memperoleh kemenangan).
Constantine mengungkapkan bahwa ia juga bermimpi yang sama
pada waktu malam. Dalam mimpi tersebut “Sang Kristus Allah” menampakkan diri
kepadanya dengan tanda yang sama yang telah dilihatnya di dalam penglihatannya
dan memerintahkan dia untuk membuat tanda serupa dan memakainya sebagai
perlindungan dalam segala pertempuran dengan musuh-musuhnya. Keesokkan paginya,
Constantine bangun dan menceritakan mimpinya itu kepada kawan-kawannya.
Kemudian, ia mengumpulkan tukang pahat dan menggambarkan tanda tersebut kepada
mereka supaya mereka dapat membuatnya di atas emas dan batu-batu berharga.
Pada tanggal 28 Oktober 312, Constantine memenangkan perang
Jembatan Mulvian. Setelah itu, ia secara resmi menjadi Kristen dan
memerintahkan agar symbol nama Juruselamatnya (tanda silang yang terdiri dari
huruf Yahudi chi dan rho) menjadi lambang tentaranya. Sebuah pemahaman tentang
pertobatan dan pengaruh kaisar Constantine atas gereja sangat penting bagi
kita, agar kita memiliki pengertian yang lebih baik mengenai dunia saat
ini.Pengaruh-pengaruh ini masih memiliki berbagai akibat yang cukup besar baik
dalam agama, filsafat dan pemerintahan. [11]
Meskipun banyak orang yang meragukan pertobatan yang dialami
oelh Konstantin, akan tetapi tindakan yang dilakukannya dengan menjadikan
Kristen sebagai agama negara telah memberikan dampak yang sangat besar terhadap
perkembangan kekristenan. Pengakuan tersebut membuat agama Kristen berdiri
dengan kokoh di dalam negara.Sekalipun trauma penganiayaan yang telah terjadi
selama berabad-abad masih dirasakan gereja, namun dengan situasi yang telah stabil
tersebut membuat gereja merasakan kebebasan melaksanakan ritual agamawi dalam
negara.
Perkembangan kekristenan sangat pesat pada masa diakuinya
gereja (Kristen) sebagai agama negara.
Pengaruh tersebut tentunya dapat dikategorikan sebagai hal
yang positif terhadap kekristenan.Namun, pengaruh positif selalu dibarengi
dengan pengaruh negatif. Lambat laun pengakuan tersebut memberikan kesempatan
kepada gereja (secara khusus GKR = Gereja Katolik Roma) untuk memupuk kekuasaan
hingga menjadi kediktatoran terhadap negara.[12]
Banyak ahli sejarah yang menyatakan bahwa keadaan pada masa
itu adalah sejarah gelap yang dilakukan oleh gereja.Di kemudian hari Gereja
Katolik Roma memegang peranan yang sangat besar terhadap sejarah kekristenan.
Terutama pada saat Konstantine menetapkan kota Konstantinopel sebagai kota
Kristen (pusat kekristenan).[13] Kota
ini kemudian berkembang secara otoritas hingga abad pertengahan. Pada abad
pertengahan, Gereja Katolik Roma memegang peranan penting terhadap berbagai
keputusan yang dilakukan oleh gereja.
Prof.
Dr. P.D. Latuhamallo
Masalah
Umum
Dalam Kata Sambutannya pada pembukaan Sidang Raya Dewan
Gereja –gereja di Indonesia ke-5 tahun 1964 di Istora Senayan, Jakarta, Dr. J.
Leimena mengungkapkan pandangannya, yakni, bahwa “apa yang gereja-gereja
kehendaki adalah sebenarnya parallel dengan apa yang negara juga kehendaki.”
Dan apa yang gereja-gereja kehendaki pada waktu itu adalah Gereja Kristen yang
Esa di Indonesia. Negara Republik Indoneia juga sejak 1928 sebagai bangsa yang
berjuang untuk kesatuan bangsa dan wilayah.Parallelisme tujuan Negara dan
Gereja tersebut menarik perhatian banyak orang pada waktu itu, termasuk para
pemimpin gereja-gereja, sehingga timbul pembicaraan yang agak ramai.Orang
menanyakan, apakah ucapan Dr. Leimena tersebut bersifat sosial-politis belaka
yang keluar dari mulut seorang negarawan? Ataukah suatu ucapan
teologis-oikumenis yang dinyatakan oleh seorang teolog awami ? Apabila tujaun
Gereja dan Negara adalah sama dan oleh karena itu irang sebutkan adanya
parallelisme, maka sejumlah pertanyaan akan muncul. Apakah wujud Gereja dan
apakah pula wujud negara?Apakah yang benar-benar dimaksudkan dengan kesamaan
tujuan itu?Bagaimanakah relasi antara Gereja dan Negara?
Apakah yang dapat dipelajari dari sejarah tentang persoalan
mengenai relasi Gereja dan Negara, umpamanya di Barat?Bagaimanakah keadaan di
Indonesia, baik dalam zaman kolonial, maupun dalam zaman Indonesia merdeka?
Khususnya, bagaimanakah hendaknya kita memahami relasi Gereja dan Negara dalam
jangkauan Pancasila dan UUD 1945 ?
Jelaslah sudah, bahwa setelah mendengar sejumlah pertanyaan
di atas, maka kini kita berhadapan dengan satu bab yang penting dalam Etika
Politik, yakni relasi Gereja dan Negara. Persoalan tersebut dapat dibahas
secara teoritis dan praktis.Teoritis, karena berdasarkan semua data pemberitaan
Kitab Suci, dapat diadakan suatu refleksi sistematis dan selanjutnya ditarik
beberapa kesimpulan.
Dan dalam hubungan
ini apa yang disebutkan Negara dalam konteks Kitab Suci, adalah lain dari pada
keadaan negara dalam zaman modern sekarang. Apa yang disebutkan negara dalam
konteks Kitab Suci, mempunyai bentuk yang sama saja dengan kerajaan yang
mempunyai masyarakat feodal. Sedangkan pengelompokan rakyat dalam bentuk partai
politik, sebagaimana terdapat dalam negara demokratis modern, tidak
ada.Demikian juga halnya dengan tidak adanya konstitusi negara.Namun yang
penting dan selalu ada dulu dan sekarang dalam bentuk negara apapun, adalah
faktor-faktor kuasa, kebebasan, kemakmuran, kemauan dan tujuan negara.
Contoh
HKBP
Ucapan Dr. Leimena yang disinggung di atas, mengantar
gereja-gereja pada konkrit. Bagaimana sebenarnya gereja-gereja yang sedang
beroikumene di Indonesia, merumuskan hubungan Gereja dan Negara dalam konteks
Pancasila dan UUD 1945 ?
Mengenai pertanyaan tersebut, dapat dikatakan, bahwa
gereja-gereja di Indonesia belum tegas secara oikumenis menyatakan
pendiriannya, artinya pendirian teologis tentang relasi Gereja dan Negara.
Sebenarnya dalam kurun waktu apa yang disebut “Orde Lama”, yakni waktu sesudah
Dekrit Presiden tgl. 5 Juli 1959 sampai kepada zaman “Orde Baru”, maka
gereja-gereja mempunyai kesempatan unatuk merumuskan keyakinannya secara
prinsipil.Dapat dicatat, bahwa tidak semua gereja di Indonesia telah
mencantumkan suatu rumusan tentang relasi Gereja dan Negara dalam naskah-naskah
kepercayaannya.
Dewan Gereja-gereja di Indonesia dalam beberapa konperensi
Gereja dan Masyarakat, dan juga dalam pesan-pesannya telah menyinggung permasalahan yang
dimaksudkan di atas.Gereja yang jelas mencantumkan hubungan Gereja dan Negara
dalam Konferensinya adalah Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Pasal 12
Konfesi HKBP mengatakan:
“Kita menyaksikan: Pemerintah yang berkuasa adalah dari
ALLAH datangnya. Ialah Pemerintah yang melawan kejahatan, yang mempertahankan
keadilan dan berusaha, agar orang percaya dapat hidup dengan sejahtera seperti
tercantum pada Roma 13 dan I Timotius 2:2. Pada lain pihak kita harus ingat
yang tercantum pada Kisah Rasul-Rasul Pasal 5:29 wajiblah orang menurut Allah
lebih dari pada manusia. Dengan ajaran ini kita menyaksikan “ Gereja harus
mendoakan Pemerintah agar berjalan di dalam keadilan. Sebaliknya Gereja pada
saat-saat yang perlu harus memperdengarkan suaranya terhadap Pemerintah. Dengan
ajaran ini kita tolak paham yang mengatakan : Negara adalah Negara keagamaan,
sebab: Negara dan Gereja mempunyai bidang –bidang tersendiri (Matius 22:21).
Jika perlu di hadapan hakim untuk menyaksikan kebenaran, orang Kristen boleh
bersumpah, demikian pula waktu menerima jabatan atau pangkat.”(Pengakuan
Percaya HKBP, Ketetapan Sinode Godang HKBP 28-30 Nopember 1951, Sipoholon).
Dengan rumusan HKBP tentang relasi Gereja dan Negara, muncul
2 pertanyaan.Pertama, mengapakah sehingga HKBP pada waktu tertentu dalam
sejarahnya, memutuskan untuk menyatakan konfesi Gereja? Kedua mengenai Pasal 12
dalam nya sikap tegas HKBP tentang bagaimana HKBP sebagai Gereja Kristus di
dunia, menyatakan relasinya dengan Negara Pancasila. Makna apakah yang
terkandung dalam model relasi Gereja dan Negara (1951) untuk keadaan sekarang?
Mengenai pertanyaan pertama dapat dijawab sebagai
berikut.Setiap gereja harus dapat merumuskan imannya.Apa yang menjadi
pokok-pokok kepercayaan gereja perlu dirumuskan sehingga menjadi pegangan dan
pedoman penghayatan bagi anggota-anggota gereja. Perumusan iman tersebut dapat
diselenggarakan oleh satu gereja, seperti halnya dengan HKBP, atau oleh
beberapa gereja dalam hubungan oikumenis.
Mengenai konfesi HKBP (1951) dilaporkan, bahwa sebagai
anggota Lutheran World Federation, maka HKBP harus memenuhi salah satu syarat,
ialah konfesi tertulis dari pada gereja yang melamar untuk menjadi anggota.
Mengenai pertanyaan kedua, dapat dicatat sebagai berikut.Pasal 12 Konfesi HKBP
dengan jelas menggarisbawahi fungsi dari pada Negara sebagaimana ditinjau dari
sudut iman Gereja.Hal ini mengenai kuasa (sumber kuasa) dan pemanfaatannya secara
bertanggungjawab oleh Negara.
Pada sebelah lain fungsi gereja terhadap Negara
dititikberatkan pula. Jadi nampak adanya batas-batas dari pada Gereja pada satu
pihak dan dari pada Negara pada lain pihak. Dan juga ditentang penyatuan Negara
dengan Agama (Negara keagamaan). Jadi model tentang relasi Gereja dan Negara
menurut Roma 13 dan I Timotius 2, dan dapat ditambahkan juga 1 Petrus 2 dan
Titus 3, dimanfaatkan oleh HKBP untuk situasi Gereja dalam Negara Pancasila.
Pasal 12 Konfesi HKBP menjelaskan juga tentang sikap kritis
Gereja terhadap negara.Yakni, bahwa Negara wajib menciptakan keadilan, art,
keadilan hukum, sosial-politik, ekonomi dsb.
Pandangan yang positif tentang fungsi Negara, sebagaimana
diyakini Gereja, dipertegas pula dengan menyatakan keyakinan Gereja, yakni,
bahwa dalam segala keadaan termasuk relasi Gereja dan Negara, yang terpenting
adalah: “Kita harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia” (Kisah
Para Rasul 5:29, terjemahan Baru Lembaga Alkitab Indonesia).
Critical Principle ini cukup menegaskan kepercayaan dan
pendirian Gereja HKBP tentang relasi Gereja dan Negara.
Hubungan
Agama Dan Negara: (Lukas 20: 20-26)
Ahli-ahli Taurat dan imam-imam kepala mengamat-amati
Yesus.Mereka menyuruh kepada-Nya mata-mata yang berlaku seolah-olah orang
jujur, supaya mereka dapat menjerat-Nya dengan suatu pertanyaan dan
menyerahkan-Nya kepada wewenang dan kuasa wali negeri. Orang-orang itu
mengajukan pertanyaan ini kepada-Nya : ” Guru, kami tahu, bahwa segala
perkataan dan pengajaran-Mu benar dan Engkau tidak mncari muka, melainkan
dengan jujur mengajar jalan Allah. Apakah kami diperbolehkan membayar pajak
kepada Kaisar atau tidak?” Tetapi Yesus mengetahui maksud mereka yang licik
itu, lalu berkata kepada mereka: ” Tunjukkanlah kepada-Ku suatu dinar; gambar
dan tulisan siapakah ada padanya?” Jawab mereka : ” Gambar dan
tulisan Kaisar.” Lalu kata Yesus kepada mereka :
”Kalau begitu berikanlah kepada Kaisar apa
yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa
yang wajib kamu berikan kepada Allah!” Dan mereka tidak
dapat menjerat Dia dalam perkataan-Nya di depan orang
banyak. Mereka heran akan jawab-Nya itu dan mereka diam.
Topik ini bukan lagi hal baru, namun tetap hangat
diperbincangkan. Terlebih pada saat-saat Pemilu 2009, sekarang
ini.Dengan sistim multi-partai dan banyaknya ikatan-ikatan primordial dan
simbol-simbol keagamaan yang digunakan, mengharuskan umat Kristen untuk
menyikapinya dengan bijak.Sikap konvensional yang selama ini dirumuskan di
bidang politik adalah bahwa gereja memiliki tugas politik, tetapi tidak
terlibat dalam politik praktis.Namun begitu, gereja dalam kenyataannya acap
mudah terseret ke dalam permainan politik. Demikian juga sikap tentang hubungan
antara agama (baca: gereja) dengan negara, masih terdapat ragam pemahaman,
seperti: terpisah, bermusuhan, atau koordinasi. Maka ada baiknya masalah ini
terus-menerus didalami dengan menafsir ulang Alkitab sesuai dengan konteks
zaman ini. Selama ini, salah satu nas Alkitab yang sering digunakan dasar
menanggapi masalah ini adalah ucapan Yesus dalam Lukas 20:25, di samping Roma
13; 1 Petrus 3; dan Wahyu 13. Dalam PA kali ini, kita akan berusaha untuk
membahas masalah hubungan agama dengan negara berdasarkan Lukas 20: 20-26.
“Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada
Kaisar, dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah” (Luk.20:25).
Orang-orang Yahudi enggan membayar pajak kepada penguasa Romawi.Sebab itu
merupakan tanda bangsa taklukan atau jajahan.Lebih daripada itu, masalah itu
juga berhubungan dengan masalah iman.Dinar yang diminta Yesus itu adalah
lambang kekuasaan Romawi.Pada sisi muka terlihat gambar Kaisar Tiberius, sedangkan
pada sisi belakang tergambar ibunda kaisar yang duduk di atas takhta ilahi
sebagai inkarnasi dari Damai Sorgawi.Yang sangat menyinggung iman orang-orang
Yahudi ialah tulisan pinggir yang ada pada mata uang itu yang menyatakan bahwa
Kaisar itu adalah Tuhan dan Imam Agung. Bunyi tulisan itu adalah Tiberius
Caesar Divi Auguati Fillius Augustus, artinya: Tiberius Kaisar, Putera
Agustus yang Ilahi. Tulisan dipinggir belakang, yang merupakan lanjutan gelar
Kaisar, berbunyi: Pontifex Maximus, artinya: Imam Tertinggi.
Pada abad pertengahan, terdapat dua pandangan. Pertama:
pandangan tentang dua pedang(two swords), yaitu adanya dua kekuasaan
yang masing-masing mandiri (Paus Gelcius I). Menurutnya, gereja dan negara
memiliki tingkat kekuasaan yang sama tetapi memiliki keunggulan masing-masing.
Misalnya, gereja lebih unggul dalam kehormatan, sedangkan negara lebih unggul
dalam kekuatan fisik. Kedua: padangan tentang hukum kodrati (natural law).
Menurut pandangan ini, semua manusia baik penguasa maupun rakyat sama-sama
diperintah dan diawasi oleh satu kerangka, yaitu hukum kodrati yang diciptakan
dan diatur oleh Allah.Tidak ada kekuasaan yang mutlak karena semua kekuasaan
dibatasi untuk hanya mencari kebaikan menurut hukum kodrati (Thomas Aquinas).Di
sini, gereja dan negara, Paus dan Kaisar, sama-sama tunduk kepada hukum kodrati
yang bersumber dari kuasa Allah.Dalam pandangan ini, terdapat adanya paradigma
pemisahan sekaligus interaksi/kordinasi antara kekuasaan gereja dan negara.
Pada masa pencerahan/reformasi (abad xv-xviii), kembali lagi
pada pemisahan antara gereja dan negara.Gereja Katolik memahami peran gereja
dalam dunia berhubungan dengan hal-hal rohani dan moral, sedangkan tugas negara
mengurus kehidupan bernegara dan politik.Luther dan Calvin menghilangkan
kekuasaan gereja di dalam negara, walaupun masih tetap mempertahakan hubungan
asimilasi.Dengan dmeikian, negara dan gereja mempunyai tugasnya
masing-masing.Walau begitu, bagi Luther, gereja membutuhkan perlindungan negara
agar tetap bisa hidup.Calvin, meski lebih berpendirian teokratis, tetapi juga
masih membela perlunya ketaatan kepada pemerintah, tetapi gereja harus menolak
perintah-perintah yang bertentangan dengan Alkitab.Intinya, Luther dan Calvin,
membela bahwa gereja dan negara harus taat pada friman Allah.
Pada abad modern (abad xix-xxi), faham demokrasi dan
kebebasan menguat.Maka konsep-konsep PB tentang hubungan gereja dan Negara
tidak bisa diterapkan begitu saja, melainkan harus ditafsir ulang, karena
konteks dan situasi yang sangat berbeda. Paham mengenai kehadiran
gereja dalam dunia, termasuk di setiap Negara memperlihatkan adanya dua
pandangan utama, yaitu: paradigma transformasi, dianut oleh Katolik, Lutheran,
Calvinis dan metodis. Sedangkana pandangan kedua, yaitu: pemisahan ketat,
dianut oleh Mennonite, Baptis dan Pentakosta. Lalu, posisi yang diambil negara
ketika berhadapan dengan gereja, ditentukan oleh kepentingan politiknya, juga
ditentukan oleh peran gereja dan kelompok agama lainnya dalam masyarakat.
Pada masa pencerahan/reformasi (abad xv-xviii), kembali lagi
pada pemisahan antara gereja dan negara.Gereja Katolik memahami peran gereja
dalam dunia berhubungan dengan hal-hal rohani dan moral, sedangkan tugas negara
mengurus kehidupan bernegara dan politik.Luther dan Calvin menghilangkan
kekuasaan gereja di dalam negara, walaupun masih tetap mempertahakan hubungan
asimilasi.Dengan dmeikian, negara dan gereja mempunyai tugasnya
masing-masing.Walau begitu, bagi Luther, gereja membutuhkan perlindungan negara
agar tetap bisa hidup.Calvin, meski lebih berpendirian teokratis, tetapi juga
masih membela perlunya ketaatan kepada pemerintah, tetapi gereja harus menolak
perintah-perintah yang bertentangan dengan Alkitab.Intinya, Luther dan Calvin,
membela bahwa gereja dan negara harus taat pada friman Allah.
Pada abad modern (abad xix-xxi), faham demokrasi dan
kebebasan menguat.Maka konsep-konsep PB tentang hubungan gereja dan Negara
tidak bisa diterapkan begitu saja, melainkan harus ditafsir ulang, karena
konteks dan situasi yang sangat berbeda. Paham mengenai kehadiran
gereja dalam dunia, termasuk di setiap Negara memperlihatkan adanya dua
pandangan utama, yaitu: paradigma transformasi, dianut oleh Katolik, Lutheran,
Calvinis dan metodis. Sedangkana pandangan kedua, yaitu: pemisahan ketat,
dianut oleh Mennonite, Baptis dan Pentakosta. Lalu, posisi yang diambil negara
ketika berhadapan dengan gereja, ditentukan oleh kepentingan politiknya, juga
ditentukan oleh peran gereja dan kelompok agama lainnya dalam masyarakat.
dalam bagian ini kita akan membahas tentang hubungan gereja
dengan Negara . Gereja yang hadir di tengah dunia hidup bukanlah untuk dirinya
sendiri tetapi juga untuk lingkungan dimana ia ada..
1.
Empat Model Hubungan Gereja dan Negara
Di bawah ini akan diuraikan 4 model hubungan gereja dengan Negara antara
lain:
- Terpisah dan bermusuhan artinya
gereja diasingkan dengan Negara, gereja tidak diakui keberadaannya oleh
Negara contoh dinegera-negara Eropa Timur dan Selatan
- Pemisahan gereja dengan Negara
artinya Negara tidak memihak, Negara bersifat netral. Dalam hubungan
seperti ini gereja tidak mendapat bantuan dari Negara. Kendatipun demikian
gereja dalam hubungan seperti ini mendapat kebebasan penuh untuk
mengembangkan diri, contoh di Negara Prancis, AS dll
- Mapan artinya dalam hubungan
yang mapan gereja mendapat dukungan yang penuh dari Negara contoh di
Negara-negara Eropa Utara (Inggris, Swedia, Norwegia dll)
- Semi terpisah artinya Gereja
menentukan dan mengurus dirinya sendiri secara terbatas. Para
pepimpin gereja berhak mendapat layanan public contoh di Jerman.
Gereja dalam Konteks Indonesia
Dalam
konteks Indonesia, kedudukan Gereja berada pada bekerjasama, dimana
Negara melindungi dan memberikan hak pada masyrakatnya untuk memeluk agama
sesuai dengan keyakinannya. Hubungan gereja dan Negara sifatnya koordinatif(setara
dan saling bekerja sama) bukanlah subordinatif (yang satu
menguasai yang lain). Demikian pula agama (dalam hal ini gereja) ikut membina
warganya agar dapat berpartisipasi dengan baik dalam mayarakat dengan penuh
rasa tanggung jawab menjaga stabilitas kebangsaan ini.
Hubungan
Gereja dan Negara dalam Teologi Calvin
Hubungan gereja dan negara dalam teologi Calvin sangat erat
dan dapat disimpulkan bahwa kedua lembaga ini saling berdampingan, sama-sama
bertugas melaksanakan kehendak Allah dan mempertahankan kehormatannya.[44]Namun bukan dalam arti
Negara boleh saja mengambil alih semua apa yang menjadi bagian gereja, dan juga
sebaliknya. Hal ini disebabkan oleh karena Calvin yang mencita-citakan suatu
pemerintahan yang teokrasi.[45] Sehingga dalam
mewujud nyatakan cita-cita teokrasi tidak cukup kalau hanya melalui pemberitaan
firman yang dilakukan oleh Gereja, tetapi seluruh kehidupan, baik hidup
perorangan, maupun hidup masyarakat, harus diatur sesuai dengan kehendak Allah.
Dan dalam hal inilah pun pemerintah mempunyai tugas untuk mendukung gereja.Ini
disebabkan karena Johannes Calvin memiliki pandangan positif kepada Negara.Ia
menolak gereja sebagai subordinasi (di bawah) Negara, atau dengan subordinasi
gereja, tetapiiuxtaposisi (kesetaraan yang berdampingan) dan
kooperatif (mitra kerjasama).
Menurut Christiaan de Jonge dalam bukunya Apa itu
Calvinisme? Menjelaskan bahwa pemahaman Calvin mengenai negara dan
hubungan antara gereja dan pemerintah pertama-tama menjadi tampak dari
penolakkannya terhadap penganut reformasi radikal yang menganggap pemerintahan
itu jahat.[40]
Menurut
Calvin pemerintah dunia tidak berhak dalam urusan perkara-perkara yang
semata-mata mengenai hidup Gereja sendiri – berdasarkan pada uraian
latar-belakang di atas.
Hubungan
Gereja dalam politik negara
Sejarah Gereja membuktikan bahwa ketika gereja menjadi
“gereja-negara” dan negara menjadi “negara-gereja”, keduanya berakhir pada
jalan buntu. Tatkala negara mendominasi (Gereja), gereja direduksi menjadi
hanya lembaga sekular manusiawi.Padahal Gereja adalah persekutuan rohani yang dibentuk
Allah sendiri.Sebaliknya, ketika Gereja mendominasi (negara), negara
disakralkan, dan kebijakan negara (politik) disejajarkan dengan isi wahyu.Tanpa
pemilahan yang jelas, hubungan keduanya justru menjadi carut-marut.Keduanya
saling eksploitasi dengan Aneka trik.
Pemilahan antara kedua saudara kandung tersebut harus
diperjelas teristimewa dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia. Umat Allah
(Gereja) semestinya membedakan peran mereka dalam politik di satu pihak sebagai
pribadi atau kolektif selaku warganegara, dan di lain pihak berperan dalam
tugas kemanusiaan atas nama Gereja. Gereja sebagai institusi harus
menghindarkan diri dari keterlibatan politik (praktis) berdasarkan agama yang
dapat menyebabkan perpecahan dalam masyarakat majemuk.
Pemilahan antara Gereja dan politik tidak berarti bahwa umat
kristiani tidak boleh terlibat dalam kegiatan politik.(Perlu dipilah jelas
makna Gereja sebagai institusi dan sebagai umat Allah).Justru sebaliknya, umat
kristiani sebagai Gereja yang terpanggil untuk menghadirkan kebenaran,
keadilan, dan kedamaian harus terlibat proaktif dalam upaya pemenuhan
kesejahteraan umum yang merupakan tujuan dari politik.Setiap umat kristiani
bersama seluruh komponen bangsa harus mengupayakan kesejahteraan umum dan
keadilan sosial. Berbagai kerusuhan massa seperti pembunuhan massal,
pembakaran/penutupan gereja, ancaman bom, dan aneka bentuk diskriminasi
menunjukkan realita negara tidak mampu memberikan perlindungan kepada
rakyatnya. Ini berkaitan dengan kebijakan politik para negarawan. Keterlibatan
umat kristiani dalam proses politik diharapkan dapat ikut mempengaruhi
pengambilan kebijakan politik yang lebih adil. Dengan kata lain, politik
merupakan salah satu jalan dan arena di mana nasib dan masa depan seluruh
rakyat ditentukan.
Melihat kondisi Indonesia, keterlibatan umat kristiani dalam
proses politik bukan lagi suatu pilihan fakultatif, melainkan telah menjadi
kebutuhan yang mendesak.
Pertanyaan
Teknis menyangkut Gereja dengan Politik
Pertanyaan teknis tentang, bolehkah orang Kristen
berpolitik, harus dijawab dengan tegas, boleh! Bahkan bolehkah gereja
berpolitik, jawabnya juga, ya! Tentu semuanya ada dalam payung refleksi iman di
atas.Gereja sebagai institusi keagamaan jelas tidak berpolitik dalam pengertian
menduduki kekuasaan atau berpihak pada salah satu kelompok politik
(partisan).Kita sebagai gereja reformasi mewarisi tradisi mengenai pemisahan
kekuasaan antara agama dan negara.Tetapi gereja menjalankan tanggungjawab moril
atas politik masyarakat.
Di lain pihak anggota
gereja sebagai warga negara selain mempunyai tanggungjawab moril yang luas, ia
juga mempunyai hak dan tanggungjawab untuk berperan di dalam politik, termasuk
politik kekuasaan. Artinya sebagai individu dan warga negara, seorang anggota
gereja dapat menjalankan fungsi individualnya.Tetapi tentu seluruh refleksi di
atas tetap relevan, keberadaan seorang anggota gereja di dalam pemerintahan
bukan untuk mengambil keuntungan bagi kehidupan gereja itu sendiri.Karena
sebagai anggota gereja maka warga negara itupun diharapkan dapat menjadi alat
kesaksian bagi politik masyarakat yang luas dan adil.
Politik gereja demi keuntungan diri sendiri mengembalikan
kita pada percakapan di atas mengenai agama/gereja politi.Kelihatannya di
Indonesia situasi ini masih terus kuat.Sebelum gonjang ganjil pemilu 1999
wacananya adalah “gereja tidak berpolitik pratis”. Statement ini menjadi
semacam excuse pada saat gereja enggan berbicara apapun mengenai politik dan
kondisi masyarakat umum. Sekarang wacana yang dikedepankan adalah “kita dukung
orang/partai Kristen”.Hal ini sebenarnya juga adalah wacana lama yang pernah
sangat kuat di tengah masyarakat Kristen tertentu di Indonesia, yang
mendambakan sosok individu Kristen di dalam kabinet atau jajaran tentara dan
pegawai negeri. Pada kenyataannya harapan ideal ini selalu gagal, karena
pertama, ada kelemahan sistem sosial di mana dominasi kelompok mayoritas amat
kuat; kedua, politik kekuasaan dan kepentingan menghadirkan ketidaktulusan
gereja dan orang kristen. Hal yang perlu kita bangun berdasarkan refleksi
teologi politik di Indonesia saat ini adalah :
- Gereja dan seluruh anggotanya
harus membangun kepekaan sosial yang tingggi. Gereja yang berpolitik
adalah gereja yang secara sungguh-sungguh mengakar dalam penderitaan
masyarakat.
- Situasi yang selalu
dibangun oleh Yesus, karena ia sungguh-sungguh berakar pada konteksnya,
yaitu di tengah penderitaan, dosa dan ketersisihan manusia(bdk.kiss
pembaptisan Yesus: Mat 3; 13-17), Konteks kita di Indonesia tidak terlalu
jauh berbeda dengan apa yang digambarkan oleh Alkitab. Hal yang paling
terasa adalah kemiskinan dan korupsi. Kedua hal ini sepertinya telah
menjadi udara yang kita hirup setiap waktu. Penting bagi kita bagaimana
membangun sikap iman di tengah kondisi seperti ini.
2.
Gereja sebagai institusi keagamaan sudah seharusnya menjaga jarak dengan
institusi politik kekuasaan, dalam hal ini pemerintah. Jarak inilah yang akan
mendukung fungsi krisis gereja sebagai agama maupun civil society. Dengan
demikian juga kita menghindar dari sikap yang menghalalkan pemerintah (godaan
politik ontokrasi).
Ada banyak contoh mengenai sikap politik gereja (formal
maupun tidak) yang menunjukkan bahwa gereja mengejar kekuasaan atau kepentingan
dirinya. Sebagai contoh seperti yang ditulis oleh Singgih: langsung atau tidak
gereja menekankan pentingnya unsur Kristen masuk dalam struktur pemerintahan;
mengambil sikap sebagai ‘anak manis’ dan menyandarkan diri pada perlindungan
penguasa; memperjuangkan kepentingan sendiri dengan membangun jembatan dengan
pemerintah/ penguasa dan golongan elit tertentu (Singgih 2000 : 26-35). Jelas
sikap seperti ini tidak hanya dilakukan pada saat momentum pemilu, tetapi
hampir di seluruh perjalanan hidup politik gereja di Indonesia (lihat Sirait
2001 : 181 dst).
Kita
dapat mengerti bahwa keadaan seperti ini didorong oleh situasi dan kondisi
bernegara – berbangsa – beragama di Indonesia yang memang tidak
ideal.Diskriminasi dan ketidakadilan terjadi di mana-mana di berbagai wilayah
masyarakat termasuk wilayah hubungan agama-agama, yang menghasilkan sikap iman
dan politik gereja yang tidak ideal pula (lih.Hadiwitanto 2002).
Karena itu sebagai gereja kita perlu mengubah konsep
berpolitik ke arah yang lebih benar dan luas.Bukan gereja politik untuk
mengejar kekuasaan dan kepentingan, melainkan politik gereja yang menghasilkan
teologi politik yang ideal, yaitu refleksi-refleksi dan tindakan iman di dalam
serta demi kepentingan kehidupan masyarakat banyak.
BAB III
PENUTUP
A.SARAN DAN KESIMPULAN
1.Saran
Sekalipun gereja tidak memiliki hubungan dengan kewarganegaraan, kita
sebagai umat nya harus tetap menjalankan ibadah atau kewajiban kita untuk tetap
memperbanyak iman kerohanian kita untuk kita bawa ke surga nanti.
2.Kesimpulan
Gerja dan negara mempunyai satu tujuan yang sama, yaitu; ingin memajukan
segala aspek yang dimiliki dan diyakini.
B.DAFTAR PUSTAKA
1. Mustopo, Prof. Dr. L. Situmeang dkk. 2006. A.k SMA
kelas XII. Jakarta : Yudhistira.
2.
Siswanto,S.Pd.M.Pd,dkk. 2010. Bersekutu
dengan tuhan
SMP kelas IX semester ganjil.
3.
Tim penyusun MGMP agama. 2011/2012. P.agama SMA kelas XII semester 1. Solo: Bakti Ilmu.
4. Tim penyusun Modul.2010. agama kristen kelas IX semester
2. Karanganyar : D.TRA.
5. Sutarto, Sunardi dkk. 2008.protestan-katholik kelas IX.
Jakarta : CV. Putra Nugraha.
6. Siswanto, S.Pd., M.Pd dkk. 2010. Gereja dan negara kelas
IX semester genap. Sragen: CV. Akik Pusaka.